Jumat, 07 Desember 2007

Memetik Stroberi di Ciwidey


Kawasan wisata Ciwidey di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, kini punya daya tarik lain. Tempat itu tidak lagi hanya menyuguhkan panorama yang eksotik, tetapi juga sudah dilengkapi dengan wisata agro. Memang, beberapa obyek wisata yang terletak di antara Kecamatan Ciwidey dan Rancabali dikenal sebagai primadona pariwisata di Bandung Selatan dengan obyek wisata Kawah Putih Ciwidey, Situ Patengan, maupun Pemandian Air Panas Cimanggu. "Menurut perhitungan, seorang wisatawan akan segera bosan dalam waktu dua jam di dalam obyek wisata alam yang tanpa aktivitas alias diam. Bahkan, bila tidak ada kegiatan lain yang ditawarkan, rasa bosan bisa datang lebih cepat dari dua jam," papar Kepala Seksi Obyek dan Daya Tarik Wisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bandung Yoharman Syamsu. Untuk memberi kesan yang unik bagi wisatawan, di obyek wisata Ciwidey kini dikembangkan agrowisata stroberi, yaitu di Kecamatan Ciwidey, Rancabali, dan Pasirjambu. Letaknya di sepanjang jalur menuju obyek wisata alam Ciwidey. Harapannya, agrowisata ini mampu penjadi ciri khas yang menguatkan obyek wisata alam sehingga wisatawan yang datang ke Kawah Putih bisa mampir dan merasakan pengalaman yang berbeda. Sama dengan agrowisata di Kota Batu, Jawa Timur, yang menawarkan agrowisata petik apel langsung, wisatawan di Ciwidey itu juga diperbolehkan memetik langsung stroberi di kebun-kebun milik petani. Mereka bebas mengelilingi kebun yang dipenuhi ratusan tanaman stroberi. Mereka bisa mengambil buah berdasarkan warna yang merah atau ukuran yang besar. Setelah merasa cukup, buah hasil petikannya diserahkan kepada pihak pengelola wisata alam tersebut untuk ditimbang dan dibayar. Harganya mencapai Rp 25.000-Rp 35.000 per kilogram. Buah yang telah dibeli itu bisa dibawa untuk oleh-oleh atau camilan di tengah jalan atau bisa langsung diblender untuk dijadikan jus. Kawasan wisata Ciwidey ini terletak sekitar 25 kilometer arah selatan Kota Bandung. Untuk menuju kawasan wisata agro tersebut, wisatawan bisa mengambil arah menuju Kawah Putih Ciwidey karena lokasinya beberapa kilometer sebelum kawah. Jalur terdekat menuju Kecamatan Ciwidey, dari Kota Bandung kita mengambil jalan lewat Jalan Raya Kopo melalui Kecamatan Margahayu. Jalur lain yang bisa ditempuh dari Kota Cimahi adalah melalui Kecamatan Leuwigajah. Dua jalur ini akan bertemu di Kecamatan Soreang. Kalau memilih jalur yang melalui Kecamatan Leuwigajah, jalan yang dilewati memang lebih lapang. Namun, pengguna jalan harus pandai-pandai menghindari lubang menganga di beberapa titik. Di Soreang, perjalanan akan lebih menyenangkan karena badan jalan lebih lega di samping pemandangannya yang menawan dan menyegarkan. Lahan- lahan terbuka yang belum banyak bangunan di sepanjang jalur itu menyajikan pemandangan asri. Di Kecamatan Pasirjambu, kebun-kebun stroberi mulai terlihat. Tiap kebun mempunyai ciri khas, baik dari bangunan maupun panorama yang menjadi latar belakang kebun. Wisatawan bisa memilih kebun stroberi yang mereka kunjungi. Hal yang ditawarkan di semua kebun stroberi umumnya suasana asri yang didukung panorama Gunung Patuha sebagai latar belakang. Lingkungan yang masih terjaga membuat wisatawan akan betah. Udara terasa segar yang tentu jauh dari polusi seperti di kota besar. Produk olahan Di setiap kebun juga dijual berbagai produk olahan berbahan dasar stroberi, seperti dodol, sirop, dan selai. Produk olahan ini dibuat agar bisa dijadikan buah tangan karena umurnya lebih lama daripada buah segar. Produk olahan berupa dodol, sirop, dan selai ini diproduksi oleh satu kelompok petani yang tergabung dalam satu koperasi dengan label "Yuriberri". Dalam sehari, produksi stroberi yang diserap rata-rata hanya 25 kg. Sedangkan sebagian besar produksi buah stroberi para petani Ciwidey ini, setelah dikemas dalam plastik, dipasarkan ke pasar-pasar swalayan, seperti di Bandung, Bogor, dan Jakarta. Yoharman menambahkan, yang ditawarkan dalam agrowisata stroberi petik sendiri adalah pengalaman unik yang bisa dirasakan wisatawan. Seorang wisatawan bisa mendapatkan pengalaman berbeda dengan wisatawan lain yang berada di tempat dan waktu yang sama. Alasannya, pengalaman seseorang mencari buah stroberi yang dinilai paling bagus dan rasa puas menemukan serta memetik sendiri buah dari masing- masing orang tidak sama. "Ada puluhan kebun stroberi milik petani di sini. Menurut catatan kami, cukup banyak wisatawan yang datang kembali ke tempat wisata ini satu bulan kemudian. Biasanya yang semula datang rombongan kini datang dengan keluarganya, tetapi bisa juga terbalik," papar Yoharman. Data pihak pariwisata Kabupaten Bandung menunjukkan, 63 persen wisatawan yang datang ke Bandung mengunjungi wisata stroberi itu. Agrowisata stroberi juga semakin dikenal ketimbang alamnya. Tak ada data resmi menyangkut jumlah pengunjung agrowisata stroberi di Ciwidey karena para pengunjung agrowisata sebagian besar adalah juga pengunjung obyek wisata alam Kawah Putih Ciwidey. Data kasar menyebutkan, pada hari libur rata-rata pengunjung bisa mencapai 35.000 orang, sedangkan pada hari biasa mencapai sekitar 3.000 orang. Tahun 2006 ini, ujar Yoharman, bisa dikatakan sebagai booming agrowisata stroberi. Buktinya, makin banyak lahan pertanian sayur yang berubah menjadi perkebunan stroberi dan diikuti dengan petaninya, produksi buah stroberi yang meningkat, pengunjung yang kian membeludak, dan ada sejumlah pembangunan fasilitas umum meski belum tuntas seluruhnya. Yoharman optimistis wisata petik sendiri ini akan bertahan lama dan sulit ditiru daerah lain. Salah satu penjelasannya adalah faktor local genius. Sekitar 40 kebun yang ada di tiga kecamatan ini dikelola sendiri oleh petani sehingga bila ada wisatawan yang datang lebih terasa seperti mengunjungi kebun petani. Pengalaman "kembali ke alam" inilah yang sulit ditiru di daerah cekungan Bandung lainnya. Rasa khas Kenapa pilihannya stroberi? Ketua Kelompok Mitra Tani Doddy Abdurrahman, yang memperkenalkan wisata stroberi petik sendiri, mengemukakan, ada beberapa alasan. Misalnya, nama buah itu sudah dikenal secara internasional, cara memakannya pun praktis, dan buah tersebut dikenal mengandung zat yang mampu mengurangi risiko kanker. Selain itu, daerah Ciwidey yang berbentuk pegunungan memenuhi syarat tumbuh stroberi, seperti ketinggian, suhu, dan kelembaban. Satu hal yang tak kalah pentingnya adalah usaha tersebut didukung sumber daya petani yang berjumlah 137 orang. Jumlah itu merupakan peningkatan pesat dari awal pelaksanaan agrowisata pada tahun 2001, yakni hanya beberapa petani. Produksi buah stroberi, lanjut Doddy, rata-rata mencapai dua ton hingga lima ton per hari, bergantung pada cuaca. Produksi buah stroberi lebih bagus pada musim kemarau karena lebih terhindar dari kemungkinan daun rontok akibat terkena air hujan. Tanaman stroberi panen setiap dua hari. Artinya, kelangsungan produksi bisa menjamin ketersediaan stroberi untuk diolah maupun untuk agrowisata. "Ciri khas sekaligus keunggulan stroberi adalah rasanya yang manis bercampur masam. Rasa inilah yang membuat para penggemarnya selalu ketagihan," ujar Doddy. Semua hal itulah yang membuat dia memutuskan untuk memopulerkan buah stroberi. Sulitnya meniru tempat budidaya stroberi membuat jumlahnya jarang melebihi permintaan sehingga sering kali harganya terjamin. Rasanya kurang lengkap jika kita berkunjung ke Bandung tidak meluangkan waktu sejenak untuk mengunjungi wisata stroberi tersebut. Cobalah cari dan petik sendiri buah itu, tentunya akan ada pengalaman yang tak terlupakan....

Qurban Sesungguhnya

Ayah, kenapa kita kalau Lebaran Haji harus potong Kambing?” anak ke 3 ku Zidan bertanya, saat kami sedang mengantar kambing untuk Qurban ke masjid.
“ Karena itu sudah menjadi kewajiban kita sebagai umat Islam, untuk melaksanakannya sayang “ ujarku sambil memegang tali tambatan kambing.
“ Kenapa menjadi kewajiban ayah, kan kasihan kambingnya jadi pada mati dipotong lehernya..... iiiiih Zidan ngeri melihatnya!” lanjutnya sambil meringis.
“ Lho kan Zidan sudah pernah bilang, kalau Guru TPA pernah bercerita kita harus mengikuti perintah Allah seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim saat harus menyembelih anaknya Nabi Ismail”, kataku berusaha menghilangkan kengeriannya.
“ O iya ya, Zidan lupa cerita tentang Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Karena Nabi Ibrahim mengikuti perintah Allah, lalu Nabi Ismail diubah menjadi gibas. Gibas itu sama dengan kambing ya Yah?” ketakutannya sudah mulai sirna dari wajah lugunya.
“ Ya Gibas itu kalau di Indonesia sama dengan domba. Atau kambing” aku berusaha menjelaskan pada dia, agar kengeriannya terhapus dengan kisah para NabiAllah.
“ Terus dagingnya untuk apa Yah? Sebegitu banyak kambing yang dipotong, malahan itu Zidan lihat ada sapinya juga. ” katanya kembali bersemangat.
“ Nanti setelah di potong, daging hewan qurban itu di bagikan pada orang yang membutuhkannya. Zidan lihat kan, kalau disekeliling komplek kita masih banyak yang kurang mampu. Kepada mereka itulah daging qurban diberikan. ” sambutku.
“ Iya ya Yah, banyak sekali orang yang nggak mampu punya rumah, sampai-sampai rumah kontrakan milik ayah yang di pinggir komplek itu nggak pernah kosong. ” lanjutnya, aku menganggukkan kepala menyetujui ucapannya.
“ Zidan jadi ingat sama si Ujang deh Yah” katanya kemudian dengan wajah sedikit sedih.
Memang begitulah mimik anak-anak, gampang berubah dalam beberapa saat, takut, gembira, kemudian sedih lalu gembira lagi. Tapi kali ini ada yang lain dari ucapan terakhirnya itu. Wajahnya cukup lama muram, tampak belum bisa melupakan hal yang ada di benaknya. Aku jadi ingin mengetahui apa yang sedang dipikirkannya.
“ Ngomong-ngomong Ujang yang mana ya? Lalu kenapa Zidan kelihatan sedih? Kataku berusaha mengorek keterangan darinya.
“ Masak Ayah lupa sama Ujang. Dulu kan dia sama Emaknya pernah tinggal di rumah kontrakan Ayah. ” ujarnya berusaha mengingatkanku.
Aku berusaha mengingat kembali siapa saja yang pernah menyewa kontrakan milik kami. Aku teringat memang dulu ada seorang janda yang tinggal bersama seorang anak laki-laki sebaya dengan anakku Zidan. Tapi seingatku mereka tinggal tidak terlalu lama, kurang lebih hanya sembilan bulan.. Dengan terpaksa aku tidak mengizinkan mereka tinggal lebih lama di kontrakan setelah aku mengetahui pekerjaan Emaknya. Dari banyak orang kudengar si Emak bekerja di warung remang-remang sekitar pangkalan truk. Karenanyalah anak laki-lakinya lebih sering bermain dengan anakku saat dia “dinas” siang ataupun malam hari. Karena kebetulan kontrakan tersebut terletak tidak terlalu jauh dari rumah kami di belakang komplek. Aku tidak ingin kontrakkan milik kami dihuni oleh pekerja yang mencari nafkah di tempat-tempat seperti itu. Lagi pula sebagai pengurus DKM masjid di komplek, aku tidak mau memberikan citra buruk pada para jamaah.
“ Ayah sudah ingatkan?” seakan dia sudah tahu kalau aku kembali ingat pada si Ujang. Aku menganggukan kepala.
“ Tinggal di mana si Ujang sekarang ya Yah? Kasihan Ujang sama Emaknya tidak punya rumah, dia pasti kedinginan musim hujan ini ya Yah? Kenapa sih dulu dia pindah dari kontrakan Yah? Memang Ayah ya yang menyuruh mereka pindah?” pertanyaannya bertubi-tubi menghampiriku.
“ Zidan tahu, kalau Allah tidak suka pada orang yang mendapatkan uang dari pekerjaan yang tidak halal. Apalagi pekerjaan itu sampai merugikan orang lain dan sangat dibenci oleh Allah” kataku berusaha menerangkan yang sesungguhnya dengan cara yang lembut. Dia mengangguk.
“ Zidan juga tahukan kalau ada orang jahat, kita tidak boleh berteman dengannya?” lanjutku sambil menatap wajahnya.
“ Tapi Ujang sangat baik Yah. Dia yang mengajari Zidan membuat perahu dari batang pisang, lalu membuat layarnya dari plastik bekas. Ujang juga dulu belajar ngaji di TPA sama Zidan lho Yah. Suaranya bagus kalau sedang belajar Adzan. Terus banyak sekali doa-doa yang Ujang hapal. Oh iya, Dia malah yang membela Zidan waktu Angga yang nakal itu mau mengambil perahu buatan Zidan. Untung tenaga Ujang kuat, sampai-sampai Angga takut melawannya. Pokoknya Ujang baik deh Yah, nggak pernah jahat sama siapapun, apalagi sama Zidan. ” ujarnya beruntun, tidak menyetujui ucapanku.
Aku jadi tidak enak hati menghadapinya. Anakku belum mengerti bila yang kumaksud adalah Emaknya, bukan anaknya. Sulit bagiku untuk menerangkan hal yang satu ini, hal yang belum pantas didengar oleh anak seumur anakku. Aku kembali teringat saat Mak Enoh panggilan janda beranak satu itu, menghiba meminta perpanjangan kontrak rumah, dengan alasan saat itu dia tidak mempunyai uang cukup untuk mencari rumah kontrakan lain. Selain itu mereka hidup jauh dari sanak saudaranya setelah ditinggal mati sang suami, ayah dari Ujang. Demi menjaga “nama baik” dengan terpaksa aku menolak, walaupun saat itu aku tahu kalau sangatlah sulit mencari rumah kontrakan semurah milik kami, yang memang mematok harga di bawah harga pasaran, serta pembayaran dengan cara cicilan. Ah... Kenapa aku jadi memikirkan hal yang sudah cukup lama berlalu itu? Apa karena tiba-tiba anakku menanyakan peristiwa itu kembali?
“ Kira-kira Ujang dapat bagian daging Qurban juga nggak ya Yah?” pertanyaannya mengagetkan lamunanku. “kan dia termasuk orang tidak mampu juga!” Aku cuma bisa menganggukkan kepala.
“ Tapi kalau dia sudah tidak tinggal di sini lagi, siapa yang mau antarkan daging Qurbannya Yah?” tampaknya dia belum puas dengan anggukan kepalaku.
“ Mudah-mudahan di tempat tinggalnya yang baru, Ujang juga dapat daging Qurban” kelu lidahku menjawabnya, sementara anak laki-lakiku kini terdiam tanpa merespon jawabanku.
Aku merasa berdosa terhadap anak yatim itu. Kenapa anak sekecil Ujang sudah mendapat imbas dari persoalan orang dewasa. Memori di otakku terputar kembali saat melihat mereka mengemasi barang-barang yang tidak seberapa itu keluar dari kontrakan kami. Sempat kulihat raut bingung dan sedih di wajah “sahabat” anakku. Saat itu keputusanku sudah bulat, pun ketika isteriku menyarankan agar aku memberi tenggang waktu beberapa minggu kepada mereka. Lagi pula menurut isteriku, Mak Enoh terpaksa bekerja di warung tersebut karena kebutuhan ekonomi. Demi menghidupi Ujang anaknya, dia rela “mengorbankan” rasa malunya bekerja sebagai tukang masak di tempat “rawan” tersebut. Memang menurut beberapa tetangganya, yang juga mengontrak rumah kami di sebelahnya, masakan Mak Enoh cukup enak. Tapi aku tak mudah percaya begitu saja, aku lebih percaya pada omongan warga komplek yang sering melihat Mak Enoh pulang malam. Warung apa yang buka hingga larut malam? Pikirku penuh kecurigaan. Memang beberapa minggu sebelumnya, janda itu sempat meminta izin padaku untuk membuka warung makanan di depan kontrakan kami yang disewanya. Aku menolak, karena sebelumnya kami juga melarang salah seorang penyewa membuka kios kecil di kontrakan kami. Pikirku, tidak adil bila aku memberikan perlakuan yang berbeda, lagi pula dengan adanya warung atau kios, akan merusak keindahan dan kebersihan lingkungan sekitar kontrakan. Apalagi kalau sampai merusak bentuk bangunan yang sudah aku dirikan dengan susah payah itu, tentu saja aku menolak.
Tapi kini ingatan itu justeru menyerang batin-ku. Kenapa begitu mudahnya dulu aku men”judge” seseorang dengan mengorbankan nurani, hanya karena pendapat dari beberapa warga. Betapa mudahnya aku menghukum tanpa mempertimbangkan rasa “keadilan” untuk anak sekecil Ujang. Untuk apa aku ber-Qurban kambing setiap tahun, bila untuk ber-emphati saja aku tidak mampu. Bahkan Zidan anakku lebih mampu merasakan apa yang dirasakan sahabatnya.
Tak terasa air bening menggenang di ujung mataku. Bila saja dulu aku mengizinkan Mak Enoh membuka warung, tentu hidup mereka akan lebih baik. Anak yatim itu bisa terus bermain dengan anak kami, mengajari membuat perahu dengan kecekatan tangannya. Kini, tak kuat aku menahan letupan sejuta rasa bersalah yang menghujam dada. Aku peluk anakku yang masih terdiam. Penyesalan itu datang begitu terlambat. Apa jadinya bila Ujang dan Emaknya kini benar-benar terlunta-lunta, kedinginan menghadapi hujan, kegelapan menghadapi malam, kelaparan menghadapi hari-hari ke depan. Siapa yang akan mengantarkan daging Qurban pada mereka?
Ya Allah, biarkan kini aku memohon padaMu, semoga Mak Enoh dan Ujang tidak terlunta-lunta seperti dugaanku, semoga mereka bisa bertemu “malaikat” penolong yang mempunyai nurani tidak seperti aku, yang “buta” oleh “keadilan dunia” yang semu.
Ampuni hambaMu yang hina ini ya Allah, yang tak pantas menyentuh SyurgaMu, karena terlalu kaku tangan ini untuk menyentuh kepala anak yatim, karena tak sanggup mempersembahkan “Qurban Sesungguhnya” dalam kehidupan.

Meninjau Pabrik Lexus di Kyushu

Walaupun bagi wartawan otomotif meninjau pabrik mobil adalah hal yang biasa dilakukan, undangan meninjau pabrik mobil sulit untuk dilewatkan. Secara teknis, pabrik mobil memang tidak jauh berbeda satu sama lain.Keadaan yang sama juga muncul saat kunjungan ke Miyata Plant di Kyushu dilakukan pada tanggal 22 Oktober lalu. Kyushu terletak di barat daya Tokyo, yang jarak tempuhnya 1,75 jam penerbangan dari Tokyo. Produk Lexus yang diproduksi di Kyushu adalah IS350/IS250/IS220d, ES350, dan RX350/RX400h.Seperti biasa, hampir di semua pabrik mobil, wartawan tidak diperkenankan membawa kamera. Di Miyata Plant pun keadaannya tidak jauh berbeda. Jikalau memerlukan foto-foto tentang produksi, pihak pabrik menyediakannya.Acara pertama, para wartawan disuguhi film tentang bagaimana sebuah Lexus diproduksi. Dalam film itu, berulang kali ditekankan bahwa Lexus adalah mobil papan atas yang menggunakan material berkualitas tinggi serta dibuat dengan keterampilan dan cita rasa yang tinggi. Dan, sebelum keluar pabrik, setiap mobil diperiksa secara saksama oleh teknisi berpengalaman yang mengenakan sarung tangan putih. Teknisi berpengalaman, yang dalam bahasa Jepang disebut dengan nama Takumi (Master), tidak melewatkan satu detail pun. Itu sebabnya moto yang digunakan Lexus, yakni The Pursuit of Perfection (Mengejar Kesempurnaan), sangatlah tepat.Miyata Plant sangat memerhatikan hubungan yang baik antara pabrik dan karyawannya. Itu sebabnya warna interior dan eksterior pabrik dikoordinasikan untuk memberikan perasaan segar dan bersih. Sebagai bagian dari komitmen terhadap lingkungan kerja yang aman dan nyaman, semua gedung menggunakan penyejuk udara (AC) dan dilengkapi peredam suara.Adapun untuk melindungi para pekerja, tugas-tugas yang mencakup pengangkatan benda-benda berat, perakitan, atau menimbulkan stres tinggi dikerjakan oleh robot atau mesin-mesin lain. Sistem baru dipasang untuk membantu pekerja berinteraksi dengan peralatan yang digunakannya secara lebih mudah dan efektif. Hasilnya pekerja perempuan dan pekerja yang telah berumur dapat melakukan tugasnya secara aman dan nyaman.Pencetakan bagian-bagian bodi dilakukan dengan penggunaan teknologi terkini pada cetakan (mold) yang presisi untuk menghasilkan bagian-bagian bodi berkualitas tinggi.Pengelasan yang dilakukan melalui pengecekan secara saksama terhadap kualitas mobil-mobil Lexus yang tinggi menjamin bahwa setiap panel di permukaan telah ditautkan secara sempurna.Pengecatan yang menggunakan cat berbasis air menciptakan lingkungan kerja yang bersih. Proses pengecatan yang dilakukan oleh lengan-lengan robot yang dibungkus kain dan cat berbasis air dengan kualitas tertinggi digunakan agar cat itu tahan lama dan aman bagi lingkungan hidup. Dan, untuk membuat cat pada mobil itu berkualitas tinggi, maka cat dipoles dengan air sehingga permukaan sangat halus.Perakitan yang menggunakan peralatan yang lengkap, bersih, dan mudah digunakan memungkinkan semua pekerja untuk menghasilkan kendaraan dengan kualitas tertinggi.Semua mobil yang selesai dirakit dicek oleh teknisi berpengalaman dengan menggunakan standar perakitan, pemasangan, dan penyetelan yang tertinggi. Setelah itu barulah mobil dikirim ke dealer-dealer Lexus.Mobil papan atas ToyotaLexus adalah mobil papan atas buatan Toyota yang pada awalnya dibuat untuk pasar Amerika Serikat. Toyota ingin mengisi segmen sedan papan atas Amerika Serikat yang dikuasai oleh mobil-mobil Amerika dan Eropa. Namun, Toyota menyadari sepenuh bahwa mereka memerlukan sebuah merek baru, mengingat Toyota selama ini hanya dikenal sebagai perusahaan pembuat mobil papan tengah.Itu sebabnya, di Toyota, pada tahun 1983, Pemimpin Toyota Motor Corporation Eiji Toyoda dan pejabat tinggi lainnya mengadakan pertemuan rahasia untuk menciptakan sedan papan atas. Pada bulan September 1984, proyek yang diberi nama dengan kode F1 (Flagship and No 1 Vehicle) dikerjakan.Tahun 1986, Honda muncul dengan sedan papan atasnya yang diberi nama Acura. Sama seperti Toyota, Honda pun sadar bahwa Honda hanya dikenal sebagai perusahaan pembuat mobil papan tengah. Untuk mengisi segmen sedan papan atas Amerika, Honda memerlukan nama baru. Munculnya Acura langsung disambut oleh pasar.Sukses Honda dengan Acura mendorong Toyota untuk mempercepat kemunculan Lexus. Pada tahun 1989, Toyota meluncurkan Lexus LS400 yang menggunakan penggerak roda belakang. Selintas sosok Lexus LS400 mirip Mercedes Benz S560 yang populer di Jepang.Para petinggi Toyota mengungkapkan, Lexus itu merupakan kombinasi dari luxury dan elegance (mewah dan anggun). Namun, Lexus tidak mempunyai arti khusus, nama itu dipilih hanya karena mudah disebut dan gampang diingat.Langkah Honda dan Toyota juga diikuti perusahaan pembuat mobil Jepang lainnya, yakni Nissan. Jika Honda muncul dengan Acura, dan Toyota mucul dengan Lexus, maka Nissan muncul dengan nama Infinity.Toyota dan Lexus adalah dua mobil yang berbeda. Mulai dari material yang digunakan (baik eksterior maupun interior), kualitas pengerjaan, kualitas cat dan pemolesan, sampai pengecekan akhir.Lexus yang awalnya hanya muncul dengan sedan, kemudian juga muncul dengan sport utility vehicle (SUV). Sama seperti sedannya yang muncul dengan beberapa model seperti LS, GS, ES, IS, dan belakangan juga CS (convertible/atap bisa dibuka tutup), SUV Lexus juga muncul dengan LX, GX, dan RX. (JL)

Sejarah Singkat Garut

Sejarah Kabupaten Garut berawal dari pembubaran Kabupaten Limbangan pada tahun 1811 oleh Daendles dengan alasan produksi kopi dari daerah Limbangan menurun hingga titik paling rendah nol dan bupatinya menolak perintah menanam nila(indigo). Pada tanggal 16 Pebruari 1813, Letnan Gubernur di Indonesia yang pada waktu itu dijabat oleh Raffles, telah mengeluarkan Surat Keputusan tentang pembentukan kembali Kabupaten Limbangan yang beribu kota di Suci. Untuk sebuah Kota Kabupaten, keberadaan Suci dinilai tidak memenuhi persyaratan sebab daerah tersebut kawasannya cukup sempit.Berkaitan dengan hal tersebut, Bupati Limbangan Adipati Adiwijaya (1813-1831) membentuk panitia untuk mencari tempat yang cocok bagi Ibu Kota Kabupaten. Pada awalnya, panitia menemukan Cumurah, sekitar 3 Km sebelah Timur Suci (Saat ini kampung tersebut dikenal dengan nama Kampung Pidayeuheun). Akan tetapi di tempat tersebut air bersih sulit diperoleh sehingga tidak tepat menjadi Ibu Kota. Selanjutnya panitia mencari lokasi ke arah Barat Suci, sekitar 5 Km dan mendapatkan tempat yang cocok untuk dijadikan Ibu Kota. Selain tanahnya subur, tempat tersebut memiliki mata air yang mengalir ke Sungai Cimanuk serta pemandangannya indah dikelilingi gunung, seperti Gunung Cikuray, Gunung Papandayan, Gunung Guntur, Gunung Galunggung, Gunung Talaga Bodas dan Gunung Karacak.Saat ditemukan mata air berupa telaga kecil yang tertutup semak belukar berduri (Marantha), seorang panitia "kakarut" atau tergores tangannya sampai berdarah. Dalam rombongan panitia, turut pula seorang Eropa yang ikut membenahi atau "ngabaladah" tempat tersebut. Begitu melihat tangan salah seorang panitia tersebut berdarah, langsung bertanya : "Mengapa berdarah?" Orang yang tergores menjawab, tangannya kakarut. Orang Eropa atau Belanda tersebut menirukan kata kakarut dengan lidah yang tidak fasih sehingga sebutannya menjadi "gagarut".Sejak saat itu, para pekerja dalam rombongan panitia menamai tanaman berduri dengan sebutan "Ki Garut" dan telaganya dinamai "Ci Garut". (Lokasi telaga ini sekarang ditempati oleh bangunan SLTPI, SLTPII, dan SLTP IV Garut). Dengan ditemukannya Ci Garut, daerah sekitar itu dikenal dengan nama Garut.. Cetusan nama Garut tersebut direstui oleh Bupati Kabupaten Limbangan Adipati Adiwijaya untuk dijadikan Ibu Kota Kabupaten Limbangan.Pada tanggal 15 September 1813 dilakukan peletakkan batu pertama pembangunan sarana dan prasarana ibukota, seperti tempat tinggal, pendopo, kantor asisten residen, mesjid, dan alun-alun. Di depan pendopo, antara alun-alun dengan pendopo terdapat "Babancong" tempat Bupati beserta pejabat pemerintahan lainnya menyampaikan pidato di depan publik. Setelah tempat-tempat tadi selesai dibangun, Ibu Kota Kabupaten Limbangan pindah dari Suci ke Garut sekitar Tahun 1821. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal No: 60 tertanggal 7 Mei 1913, nama Kabupaten Limbangan diganti menjadi Kabupaten Garut dan beribu kota Garut pada tanggal 1 Juli 1913. Pada waktu itu, Bupati yang sedang menjabat adalah RAA Wiratanudatar (1871-1915). Kota Garut pada saat itu meliputi tiga desa, yakni Desa Kota Kulon, Desa Kota Wetan, dan Desa Margawati. Kabupaten Garut meliputi Distrik-distrik Garut, Bayongbong, Cibatu, Tarogong, Leles, Balubur Limbangan, Cikajang, Bungbulang dan Pameungpeuk.Pada tahun 1915, RAA Wiratanudatar digantikan oleh keponakannya Adipati Suria Karta Legawa (1915-1929). Pada masa pemerintahannya tepatnya tanggal 14 Agustus 1925, berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal, Kabupaten Garut disahkan menjadi daerah pemerintahan yang berdiri sendiri (otonom). Wewenang yang bersifat otonom berhak dijalankan Kabupaten Garut dalam beberapa hal, yakni berhubungan dengan masalah pemeliharaan jalan-jalan, jembatan-jembatan, kebersihan, dan poliklinik. Selama periode 1930-1942, Bupati yang menjabat di Kabupaten Garut adalah Adipati Moh. Musa Suria Kartalegawa. Ia diangkat menjadi Bupati Kabupaten Garut pada tahun 1929 menggantikan ayahnya Adipati Suria Karta Legawa (1915-1929).Kembali ke atasPerkembangan Fisik KotaSampai tahun 1960-an, perkembangan fisik Kota Garut dibagi menjadi tiga periode, yakni pertama (1813-1920) berkembang secara linear. Pada masa itu di Kota Garut banyak didirikan bangunan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk kepentingan pemerintahan, berinvestasi dalam usaha perkebunan, penggalian sumber mineral dan objek wisata. Pembangunan pemukiman penduduk, terutama disekitar alun-alun dan memanjang ke arah Timur sepanjang jalan Societeit Straat.Periode kedua (1920-1940), Kota Garut berkembang secara konsentris. Perubahan itu terjadi karena pada periode pertama diberikan proyek pelayanan bagi penduduk. Wajah tatakota mulai berubah dengan berdirinya beberapa fasilitas kota, seperti stasiun kereta api, kantor pos, apotek, sekolah, hotel, pertokoan (milik orang Cina, Jepang, India dan Eropa) serta pasar.Periode ketiga (1940-1960-an), perkembangan Kota Garut cenderung mengikuti teori inti berganda. Perkembangan ini bisa dilihat pada zona-zona perdagangan, pendidikan, pemukiman dan pertumbuhan penduduk.Kembali ke atasKeadaan Umum KotaPada awal abad ke-20, Kota Garut mengacu pada pola masyarakat yang heterogen sebagai akibat arus urbanisasi. Keanekaragaman masyarakat dan pertumbuhan Kota Garut erat kaitannya dengan usaha-usaha perkebunan dan objek wisata di daerah Garut.Orang Belanda yang berjasa dalam pembangunan perkebunan dan pertanian di daerah Garut adalah K.F Holle. Untuk mengenang jasa-jasanya, pemerintah Kolonial Belanda mengabadikan nama Holle menjadi sebuah jalan di Kota Garut, yakni jalan Holle (Jl.Mandalagiri) dan membuat patung setengah dada Holle di Alun-alun Garut.Pembukaan perkebunan-perkebunan tersebut diikuti pula dengan pembangunan hotel-hotel pada Tahun 1917. Hotel-hotel tersebut merupakan tempat menginap dan hiburan bagi para pegawai perkebunan atau wisatawan yang datang dari luar negeri. Hotel-hotel di Kota Garut , yaitu Hotel Papandayan, Hotel Villa Dolce, Hotell Belvedere, dan Hotel Van Hengel.Di luar Kota Garut terdapat Hotel Ngamplang di Cilawu, Hotel Cisurupan di Cisurupan, Hotel Melayu di Tarogong, Hotel Bagendit di Banyuresmi, Hotel Kamojang di Samarang dan Hotel Cilauteureun di Pameungpeuk. Berita tentang Indahnya Kota Garut tersebar ke seluruh dunia, yang menjadikan Kota Garut sebagai tempat pariwisata.Kembali ke atasPenetapan Hari Jadi GarutSebagaimana sudah disepakati sejak awal, semua kalangan masyarakat Garut telah menerima bahwa hari jadi Garut bukan jatuh pada tanggal 17 Mei 1913 yaitu saat penggantian nama Kabupaten Limbangan menjadi Kabupaten Garut, tetapi pada saat kawasan kota Garut mulai dibuka dan dibangun sarana prasarana sebagai persiapan ibukota Kabupaten Limbangan. Oleh karena itu, mulai tahun 1963 Hari Jadi Garut diperingati setiap tanggal 15 September berdasarkan temuan Tim Pencari Fakta Sejarah yang mengacu tanggal 15 September 1813 tersebut pada tulisan yang tertera di jembatan Leuwidaun sebelum direnovasi. Namun keyakinan masyarakat terhadap dasar pengambilan hari jadi Garut pun berubah. Dalam PERDA Kab. DT II Garut No. 11 Tahun 1981 tentang Penetapan Hari Jadi Garut yang diundangkan dalam Lembaran Daerah pada tanggal 30 Januari 1982, dinyatakan bahwa Hari Jadi Garut dipandang lebih tepat pada Tanggal 17 Maret 1813.Penelusuran hari jadi Garut berpijak pada pertanyaan kapan pertama kali muncul istilah “Garut”. Seperti dijelaskan dalam Latar Belakang di atas, bahwa ungkapan itu muncul saat “ngabaladah” dalam mencari tempat untuk ibukota Kabupaten Limbangan yang diperintahkan R.A.A Adiwijaya sebagai Bupati yang dilantik pada tanggal 16 Februari 1813. Fakta tentang Jembatan Leuwidaun yang peletakkan batu pertamanya adalah tanggal 15 September 1918 juga tetap diperhitungkan. Dengan demikian, asal mula tercetus kata “Garut” adalah diyakini berada pada sebuah hari antara 16 Februari 1813 s.d. 15 September 1918.Dari berbagai penelusuran diketahui bahwa Bupati Adiwijaya dalam membuat kebijakan selalu meminta fatwa dari sesepuh yang diduga berkebudayaan Islam karena Suci berada di sekitar Godog, makam tokoh penyebar agama Islam. Bersumber pada tradisi tata perhitungan waktu masyarakat, diperkirakan bahwa panitia yang “ngabaladah” ibukota diperintahkan pada bulan Mulud sebagai bulan yang dianggap baik pada waktu itu. “Ngabaladah” tidak mungkin dilakukan pada tanggal 1 Mulud karena kepercayaan orang Sunda pada waktu itu adalah bahwa hari baik jatuh pada saat bulan purnama antara 12-14 Mulud. Karena, 12 mulud dianggap sebagai hari puncak peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW, maka yang paling diiyakini memungkinkan untuk “ngabaladah” adalah tanggal 14 Mulud. Menurut perhitungan waktu karya Roofer, hasil konversi tanggal 14 Mulud 1228 Hijriyah itu adalah tanggal 17 Maret 1913.

Penemu Blue Energy Warga Nganjuk, Berbahan Dasar Air, Dipamerkan dalam Konferensi PBB

NGANJUK- Tak banyak yang tahu, penemu bahan bakar blue energy yang sedang dikampanyekan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) ternyata berasal dari Nganjuk. Dia adalah Joko Suprapto, warga Desa Ngadiboyo, Kecamatan Rejoso.
Kemarin, tim uji coba kendaraan berbahan bakar tersebut mengunjunginya. Mereka dipimpin staf khusus Presiden SBY, Heru Lelono. Rombongan itu dalam perjalanan dari Cikeas, Bogor menuju Nusa Dua, Bali, tempat digelarnya United Nation Framework Conference on Climate Change (UNFCCC) 2007. "Luar biasa. Ini mobil Mazda Six punya Patwal Mabes (Polri) yang bisa berkecepatan 240 kilometer per jam ini kami coba lari 180 kilometer per jam tanpa ada persoalan. Jadi, moga-moga apa yang kita uji coba ini benar-benar bermanfaat. Insya Allah," ujar Heru begitu turun dari Ford Ranger B 9648 TJ.
Untuk diketahui, pertemuan kemarin berlangsung di salah satu hotel di Nganjuk. Rombongan Heru tiba sekitar pukul 09.00. Mereka mengendarai lima unit kendaraan untuk menguji bahan bakar berbahan dasar air tersebut. Yakni, dua pikap double cabin Ford Ranger, satu sedan Mazda 6, satu bus, dan satu truk pengangkut blue energy.
Sebelumnya, rombongan dilepas oleh Presiden SBY, Minggu lalu, dari kediaman pribadinya di Cikeas, Bogor. Rencananya, blue energy itu juga akan dipamerkan kepada dunia dalam UNCFCCC atau Konferensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim di Nusa Dua, Bali . "Kita ingin membuktikan kepada dunia internasional bahwa kita bukan bangsa kere yang terombang-ambing harga minyak dunia. Bangsa Indonesia bisa menemukan (bahan bakar, Red) sendiri," tandas Heru bangga. Kepada puluhan wartawan yang sejak pagi menunggu kedatangan rombongan, Heru mengungkapkan bahwa bahan bakar hasil penelitian belasan tahun Joko itu sangat irit. "Sekitar satu lima belas (1 liter dibanding 15 kilometer, Red). Tadi kami mencatat, untuk menempuh 374,5 kilometer, hanya butuh 25 liter," tutur staf khusus Presiden bidang otonomi daerah itu. Selain hemat dan mampu meningkatkan performa kendaraan, lanjut Heru, keunggulan bahan bakar tersebut adalah rendahnya emisi karbon yang dihasilkan. Ini sesuai dengan pesan UNFCCC yang digelar 3-14 Desember mendatang.
"Sudah dicoba sendiri oleh Bapak Presiden. Beliau kemarin sempat duduk di belakang knalpot bus ini sambil menciumi asapnya. Paspampres (pasukan pengamanan presiden) sempat kerepotan takut Presiden karacunan, tapi tidak. Coba saja," tantangnya. Penasaran, Wakil Bupati Nganjuk Djaelani Ishaq yang kemarin ikut menyambut kedatangan rombongan langsung mencoba mencium asap dari moncong knalpot bus. "Sama sekali tidak ada baunya," kata Djaelani setelah berkali-kali setelah mengisap asap tersebut. Ditemani Joko, Heru kemarin juga mengungkapkan bahwa untuk memakai blue energy, mesin tidak perlu dimodifikasi. "Sama sekali tidak perlu ada modifikasi apa-apa. Ini kami bawa mobil berlainan tahun, semua bisa pakai," tandasnya. Bahkan, lanjut Heru, ada yang sebelumnya menggunakan solar dan di tengah jalan langsung diganti 100 persen dengan blue energy. "Mobilnya malah semakin tidak ada getaran," lanjutnya bangga.
Sementara itu, Joko Suprapto yang selama ini terkesan misterius soal kedekatannya dengan SBY, kemarin mulai blak-blakan. Terutama soal aktivitasnya sebagai peneliti dan penemu blue energy. Dia bahkan sempat sedikit membeber teknologi yang mulai ditelitinya sejak 2001. Intinya adalah pemecahan molekul air menjadi H plus dan O2 min. Ada katalis dan proses-proses sampai menjadi bahan bakar dengan rangkaian karbon tertentu," Untuk mesin dengan bahan bakar premium, solar, premix, hingga avtur, Joko mengaku telah menyiapkan bahan bakar pengganti sesuai dengan mesinnya. "Tinggal mengatur jumlah rangkaian karbonnya. Mau untuk mesin bensin, solar, sampai avtur ya sudah ada," kata ayah enam anak itu.
Yang menarik, bahan dasar air yang digunakan adalah air laut. "Kalau air tanah bisa menyedot ribuan atau jutaan meter kubik. Kasihan masyarakat, paling bagus nanti bahannya air laut," terang pria yang selalu menyembunyikan identitasnya, termasuk almamater tempatnya meraih gelar insinyur, itu. (end)