Jumat, 18 Januari 2008

Kota Suci Penuh Darah

KOTA Karbala adalah tempat penting bagi peziarah kaum muslim Syiah. Kota ini memang merupakan tempat suci bagi para pemeluk Islam Syiah.
Di sinilah terletak makam Imam Husein yang disucikan para pemeluk Syiah. Di kota itu pula tempat Imam Husein dan seluruh keluarganya terbunuh dalam sebuah pertempuran tak seimbang dengan Yazid bin Muawiyah dari Dinasti Umayah lebih dari 1.300 tahun lalu.
Bagi para pemeluk Syiah yang taat, ziarah ke Karbala juga bermakna pertobatan dan penebusan dosa karena kegagalan nenek moyang mereka membela dan membantu Imam Husein. Dalam perkembangannya, peringatan hari wafatnya Imam Husein tak sekadar menjadi perayaan kaum Syiah yang menemukan tradisinya kembali. Lebih dari itu, momen puncak peribadatan penganut Syiah ini sekaligus menjadi unjuk kekuatan kaum Syiah Irak kepada dunia, khususnya tentara pendudukan Amerika.
Dalam sejarah dinyatakan kekalifahan Imam Husein tidak diakui, meskipun kelompok muslim Syiah percaya bahwa Husein berhak menjadi kalifah. Pada tahun 600, dia mengklaim punya hak untuk menjadi kalifah meneruskan kekalifahan Muawiyah yang sudah meninggal.
Namun, putra Muawiyah, Yazid, tidak mengakui klaim Husein sehingga pecahlah pertikaian antara pengikut Husein dan Yazid. Pasukan Husein yang jumlahnya sedikit terkepung di Karbala, tepat di perbatasan dengan padang pasir. Dia tewas dalam pertempuran itu. Jenazahnya dimakamkan di kota itu. Makamnya, dengan hiasan kubah dan tiga menara, menjadi kompleks bangunan utama di kota itu dan juga sebagai tempat perziarahan bagi muslim Syiah.
Di Karbala juga terdapat makam Abbas, saudara Husein, yang ikut tewas dalam pertempuran itu. Ayahanda Husein, Imam Ali, adalah pendiri gerakan Syiah. Dia dimakamkan di Najaf, 190 km sebelah selatan Bagdad dan 80 km dari Karbala.
Ali menikah dengan putri Nabi Muhammad, Fatima. Ali pun ketika itu sangat berharap untuk menjadi pemimpin bagi umat Islam kelak. Setelah Ali wafat, Syiah memisahkan diri dari aliran Suni.
Kepercayaan Baru
Peristiwa terbunuhnya Husein menimbulkan duka mendalam bagi penganut Syiah dan melahirkan sebuah kepercayaan baru di kalangan Syiah, yang menganggap Muharam sebagai bulan kesedihan dan bulan sial. Dalam perkembangan selanjutnya, penganut Syiah menciptakan ritual-ritual khusus untuk memperingati tragedi Karbala, berupa majelis-majelis ratapan yang berpuncak pada 10 Muharam (10 Asyura), tepat di hari wafatnya Imam Husein.
Karbala sebetulnya termasuk kota miskin. Secara tradisional, pendapatan kota itu berasal dari ribuan peziarah yang datang berkunjung, terutama dari Iran dan India. Ribuan peziarah muslim hampir setiap hari memadati jalan-jalan sempit kota itu.
Pada 1991, setelah Perang Teluk, Syiah di Karbala, Najaf, dan kota-kota lain bangkit memberontak menentang pemerintahan Saddam Hussein. Namun, pemberontakan itu tidak didukung oleh AS dan sekutu-sekutunya. Pasukan Pengawal Republik akhirnya berhasil menumpas pemberontakan itu. Puluhan ribu muslim Syiah di seluruh penjuru Irak selatan tewas dibunuh, disiksa, atau dipenjara. Mereka yang berhasil lolos memilih melarikan diri ke Iran.
Sungguh amat disayangkan, makam-makam suci di kedua kota suci itu diterjang tank-tank dan artileri pasukan pemerintah Saddam. Meski demikian, makam-makam tersebut dapat segera direstorasi dengan menggunakan dana pemerintah.
Kekalahan gerakan pemberontakan itu mengakibatkan kelompok Syiah terpinggirkan, kendati jumlah pengikut Syiah berkisar 60 persen dari populasi penduduk negeri itu.
Sejak itu, pemerintah Irak dikabarkan membatasi perziarahan ke Karbala yang biasanya dilakukan dua kali dalam setahun. Pembatasan itu mengakibatkan perselisihan tak kunjung padam dan bentrokan-bentrokan masih sering terjadi.
Saat perang Irak melawan AS, banyak orang mengecam tentara Amerika, karena pesawat tempurnya terbang terlalu rendah. Mereka takut, getaran atau bahkan misil akan mengenai salah satu bagian dari bangunan makam tersebut. Untunglah, tidak terjadi kerusakan pada bangunan suci tersebut, meski 7 kilometer dari lokasi, masih terlihat onggokan tank Irak yang porak-poranda dihajar misil. Saat perang lalu, hampir seluruh penduduk di sekitar pergi mengungsi.
Setelah rezim Saddam tumbang, Karbala berdenyut kembali. Hampir setiap hari ratusan peziarah berdoa dan menyambangi tempat suci ini. Mereka berdoa dan menangis tersedu-sedu. Ada yang datang dari Iran, Pakistan, Libanon, dan dari lokal Irak. Bagi sebagian penganut Syiah, belum afdhol rasanya jika tak sempat ke Karbala dan Najaf.
Karbala layaknya kota satelit yang bahkan jauh lebih ramai dari distrik terdekatnya, Iskandariyah. Pedagang asongan, yang menjajakan turbah (tempat sujud dari tanah-Red), kaset, sajadah, dan gambar-gambar Al Husain memenuhi jalan masuk menuju bangunan makam. Meski di sekeliling makam sudah berdiri puluhan hotel, tetap saja tak mampu menampung para peziarah.
Memang, Karbala bak prasasti nan tak lekang dimakan perang. Dalam situasi sulit sekalipun, masih bisa menghidupi penduduk sekitar. Banyak orang bisa mengambil keuntungan dari keluarga Nabi, meski tidak sedikit pula yang tak tahu diri dan tidak merasa bahwa hanya sedikit yang telah dia berikan.
Karbala terletak di 80 km sebelah selatan kota Baghdad, sebelah barat Furat, dan sebelah kanan anak sungai Husainiya.
Karbala juga berbatasan dengan Siria dan Saudi Arabia.
Sejarah
Sejarah kota ini bermula dari masa kerajaan Babilonia. Sebelum ditaklukkan oleh penguasa Islam, kota ini merupakan kuburan/makam orang-orang Kristen. Menurut beberapa peneliti, kata Karbala berasal dari bahasa Babilonia kuno yang berarti ìdekat Tuhanî. Untuk mengetahui arti yang tepat, para peneliti mengatakan perlu diketahui terlebih dahulu bentuk tulisannya dan analisis linguistiknya. Dikatakannya, kata ini diambil dari kata Kur Babul yang dalam bahasa Arab berarti sekelompok desa-desa Babilonia Kuno. Desa-desa itu antara lain Ninawi (dekat Saddatul Hindiyah), Al-Ghadhiriyah (sekarang lebih dikenal dengan Araadhil Husainiyah yang berarti tanah Husainiya. Lalu Karbala atau Aqr Babul, An-Nawaawis, Al-Hirah yang sekarang lebih dikenal sebagai Al-Haa'ir.
Sebagian peneliti lainnya menyatakan sejarah Karbala berkait dengan sejarah kota Tusuh An-Nahrain yang terletak di tepian Sungai Balakubos, tempat kuil-kuil pemujaan. Kata Karbala dibentuk dari dua kata Siria yaitu Karb yang berarti tempat suci, dan kata Ail yang berarti Tuhan. Dua kata itu bila digabung berarti Kota Suci Tuhan. (Maratun Nashihah/Pusdok SM-33t)

Tidak ada komentar: